Saya cukup sering mendengar sejarah marga Rangkuti dari Ayah dan kerabat-kerabat saya. Paling sering dan yang masih terekam dalam benak saya adalah kalau Rangkuti itu berasal dari kata “Orang yang Ditakuti”. Bila diucapkan secara cepat, maka akan terdengar menjadi “Rangkuti”. Hal ini sebagaimana yang saya baca di buku “Data dan Silsilah Marga Rangkuti”, karya H. Arif Kamal Pulungan. Cukup unik. Tapi sebenarnya saya penasaran, sejak kapan kata “Rangkuti” itu mulai disebut? Apakah memang dulunya orang-orang yang mengenal marga Rangkuti itu sudah berbahasa Indonesia? Mengingat kata Rangkuti itu mestinya dicetuskan oleh orang-orang Mandailing yang pastinya berbahasa Mandailing (agaknya hal ini perlu penelusuran lebih lanjut).
Sesuai yang tertulis di buku tersebut, asal kata Rangkuti itu adalah karena dulunya, Sutan Parapat, sebagai salah seorang raja, leluhur marga Rangkuti, memiliki kemampuan menjinakkan harimau (bahasa Mandailing harimau adalah “babiat”). Bukan hanya menjinakkan, tetapi juga mengendarainya kemana pun ia pergi. Menurut sejarahnya, hanya orang-orang tertentu yang digelari Rangkuti itulah yang bisa memperlakukan seekor harimau sedemikian rupa sehingga menjadi jinak layaknya hewan peliharaan. Harimau itu pun berperilaku seperti hamba yang mengabdi pada Tuannya. Disebabkan kesaktiannya menaklukkan harimau itu, maka orang-orang menganggap Sutan Parapat dan para leluhur lain yang bisa menunggangi harimau sebagai orang yang ditakuti. Karena rajanya ditakuti, maka rakyat dan generasi penerusnya pun ditakuti setiap orang pula.
Terlepas dari pembahasan mengenai asal mula sebutan “Rangkuti” tersebut, umum diketahui kalau setiap orang yang bermarga (di tanah Batak) adalah raja. Tak terkecuali Mandailing, yang sebenarnya masih merupakan bagian dari suku Batak, namun seringkali enggan menyebut dirinya sebagai suku Batak. Sebagaimana halnya marga-marga di tano (tanah) Batak, marga-marga yang berkembang di Mandailing bermula dari bentuk kerajaan, tak terkecuali marga Rangkuti. Adapun Rangkuti, kerajaan marganya terletak di Runding, di seberang sungai terbesar di Mandailing bernama Batang Gadis. Kerajaan Runding ini berhadapan dengan kerajaan marga Pulungan di Huta Bargot. Kerajaan Rangkuti di Runding termasuk salah satu kerajaan tertua di Mandailing. Bila ditilik tahunnya, kerajaan ini terbentuk kira-kira pada pertengahan abad XI.
Wilayah kerajaan yang didiami marga Rangkuti ini cukup luas, mencakup huta-huta (kampung-kampung) di Mandailing Jae (Mandailing Godang), Batang Natal dan Mandailing Julu. Salah satu huta di Mandailing Godang adalah Hutalobu atau yang sekarang disebut Aek Marian, yang merupakan tanah kelahiran Ayah saya. Di sinilah terdapat makam salah seorang leluhur marga Rangkuti yaitu, Datu Janggut Marpayung Aji, yang merupakan generasi keempat dari keturunan Sutan Pane, yang bersaudara dengan Sutan Parapat.
Beberapa bulan yang lalu, ketika saya masih tinggal di Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing Natal, saya berkesempatan mengunjungi lagi makam Datu Janggut Marpayung Aji tersebut, setelah kunjungan pertama beberapa tahun sebelumnya. Letak Aek Marian tidak terlalu jauh dari Panyabungan. Hanya lebih kurang 30 menit saja dengan berkendara. Jalannya pun mulus, karena merupakan Jalan Lintas Sumatera menuju Sumatera Barat.
Setelah sampai di Aek Marian dan melewati jembatan yang ada di sana, kita akan menemui suatu penanda ke arah makam tersebut di sebelah kanan, menunjuk suatu jalan kecil serupa gang. Penanda tersebut bertuliskan “Raja Datu Janggut Marpayung Aji” di atasnya lalu kata “Rangkuti” dengan huruf berjejer vertikal di bawahnya. Melewati rumah-rumah penduduk di gang tersebut, kita lalu berbelok ke kiri dan berjalan menanjak ke atas, masuk ke wilayah hutan. Jalan yang dimaksud berupa undakan-undakan yang telah ditumbuhi semak belukar. Di kanan kirinya adalah hutan heterogen. Cukup melelahkan bagi yang tidak biasa berolahraga.
Setelah hampir 15 menit berjalan ke atas, maka sampailah kita di tanah yang datar, tak lagi berundak-undak. Melihat ke kanan, di sanalah terletak makam tersebut. Sebuah makam yang cukup luas. Diperkirakan jasad manusia di dalamnya berukuran lebih tinggi dan besar daripada ukuran rata-rata jasad manusia sekarang. Luasnya kira-kira 3×3 meter persegi. Makam sederhana itu hanya dikelilingi susunan batu-batu serupa cadas, dengan sebuah batu besar di salah satu ujungnya yang berfungsi sebagai nisan. Aksara pada nisan purba tersebut tak lagi jelas karena telah ditutupi sejenis jamur. Di atasnya berupa tanah yang ditumbuhi rerumputan liar. Dibersihkan hanya bila ada yang berziarah ke makam tersebut.
Sebagaimana makam tua, konon ada hawa mistik di makam ini. Sejak dulu, banyak orang yang penasaran dengan isi makam tersebut. Sesuai kepercayaan yang diwariskan turun temurun, diyakini bahwa di dalam makam tersebut ada harta yang turut dikubur bersama jasad Datu Janggut Marpayung Aji. Harta inilah yang sering jadi buruan orang. Biasanya para pemburu harta makam ini beraksi pada malam hari. Namun seringkali, para pemburu ini tak sampai pada niatnya karena sesuatu hal yang sulit dijelaskan. Menurut cerita para tetua di kampung tersebut, suatu waktu ada orang yang nyaris berhasil, namun ketika ia hampir dekat ke harta tersebut, terdengarlah suara-suara asing yang membuat orang tersebut membatalkan niatnya dan lari tunggang langgang. Setelah itu, tak seorang pun lagi berani mengutak atik makam meskipun tak ada orang yang menjaga.
Mungkin karena tidak ada yang menjaga, makam tersebut pada akhirnya terkesan tidak terurus. Lihat saja jalannya yang telah tertutupi semak belukar. Jalan berupa tangga yang seharusnya menjadi akses utama ke makam tersebut tak terlihat lagi dan di beberapa undakannya menjadi cukup licin karena telah ditutupi tanah semak belukar. Makam yang seharusnya dipugar agar terlihat lebih indah dan terawat karena merupakan salah satu situs sejarah yang penting di daerah tersebut, tampak suram dan hampir hanya terlihat seperti tanah biasa bila tidak diberi pembatas.
Agaknya persoalan kelestarian situs-situs bersejarah ini tidak mendapat perhatian penting dari masyarakat sekitar dan pemerintah daerah setempat. Suatu hal yang “lumrah” di daerah Mandailing. Tak heran bila pembangunan daerahnya berjalan lambat. Padahal bila dioptimalkan, wisata sejarah dan budayanya amat potensial untuk dikembangkan dan dapat berpengaruh positif pada sektor perekonomian masyarakatnya yang kebanyakan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bila masyarakat dan pemerintah daerahnya tidak lagi peduli pada warisan sejarah dan budaya yang tak ternilai itu, agaknya ini akan menjadi PR penting bagi generasi penerus Rangkuti.
Sumber: http://ichan-erkate.blogspot.com/2011/01/makam-leluhur-marga-rangkuti-potensi.html
2 komentar:
ehhhmm,,,,,
seru cerita nya,,,
btw orang tua saya juga berasal dari aek marian....
salam kenal,,,,,
saya juga bermarga rangkuti dari lembah sorik marapi
:-)
Posting Komentar