Pernah menjabat sebagai Direktur Jendral Lembaga Keuangan pada tahun 2000-2005 dan setelah itu menjabat sebagai Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan sampai dengan tahun 2006. Jabatan terakhir Beliau sebelum menjabat Deputi Gubernur Senior di Bank Indonesia adalah sebagai Direktur Jendral Pajak.
Darmin Nasution ditetapkan sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia untuk masa jabatan 2009 – 2014 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.57/P Tahun 2009, tertanggal 17 Juli 2009 dan diambil sumpahnya (dilantik) pada tanggal 27 Juli 2009.
Sehubungan dengan terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38/P Tahun 2009 tanggal 19 Mei 2009 tentang pemberhentian Prof. Dr. Boediono dari jabatan Gubernur Bank Indonesia, serta menunjuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009, maka Deputi Gubernur Senior, Darmin Nasution, selanjutnya menjalankan tugas pekerjaan Gubernur sebagai Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia.
Sesuai dengan Keputusan Presiden RI No.95/P Tahun 2010 tanggal 21 Agustus 2010, selepas dari jabatannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, beliau diambil sumpahnya (dilantik) sebagai Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 1 September 2010.
DARMIN menghabiskan masa remaja di tanah kelahirannya di Desa Maga Lombang,Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Mandailing Natal (Madina). Untuk menuju desa itu dibutuhkan waktu satu jam perjalanan dari Ibu Kota Madina, Panyabungan.
Sementara bila dari Ibu Kota Sumatera Utara (Sumut), Medan, akan memakan waktu 10 jam perjalanan. Rumah orang tua Darmin, almarhum Judin Nasution dan almarhumah Asma Rangkuti, tepat berada di belakang Pasar Maga. Bagi warga setempat, nama Darmin tidak asing lagi.Warga langsung menunjuk sebuah rumah berdinding papan dan beratap seng ketika SINDObertanya. Di perkarangan rumah, terdapat pohon sawo yang menurut keluarga ditanam Darmin saat masih duduk di kelas 2 SR.
Adik Darmin, Herman Nasution, 47, mengatakan, Darmin-lah yang mengangkat derajat keluarga besar mereka. Darmin merupakan anak ketujuh dari 10 bersaudara, yakni si sulung Nurman Nasution, Ramli Nasution, Saunah Nasution, Sehani Nasution, Nurani Nasution, Hanimah Nasution, Herman Nasution, Warni Masleni Nasution dan si bungsu Lukmanul Hakim Nasution. Menurut dia, almarhum ayahnya pernah mengungkapkan, telah mendapat firasat bahwa putra ketujuhnya akan menjadi orang besar. “Konon, sebelum Darmin lahir, ayah saya pernah bermimpi mendaki puncak Gunung Sorik Marapi. Darmin sendiri kala masih duduk di bangku SR pernah bermimpi memeluk bulan,”tuturnya kepada SINDO, belum lama ini.
Di mata Herman, Darmin adalah sosok yang tidak pernah mengeluh dan selalu menuruti apa kata orang tua. Ke sekolah, dia hanya menggunakan baju seadanya bahkan, di beberapa bagian sudah koyak dan tidak pernah pakai sepatu.Untuk menulis pun harus menggunakan batu tulis. Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak ini tak pernah protes bila tidak diberi jajan saat akan berangkat ke sekolah. Darmin sadar betul bahwa sang ayah yang hanya bertani memiliki penghasilan jauh dari cukup untuk menghidupi istri dan 10 anaknya. Meski kehidupannya demikian, Darmin tak pernah putus asa.Waktu senggang dihabiskannya untuk belajar dan belajar, di samping membantu ayahnya di sawah. Hasilnya, Darmin kerap dijadikan contoh oleh guru saat memotivasi siswanya.
“Dari kelas 1 SR hingga tamat SMA Darmin selalu juara 1. Guru-guru sering memberikan pujian kepada dia,” beber Herman. Selain tak pernah mengeluh, mantan Asisten Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara ini juga tidak suka melihat orang yang mengeluh. Menurut dia, hidup ini merupakan perjuangan untuk mencapai citacita. “Apabila saya sudah mengeluh, dia (Darmin) langsung menasihati saya,”ungkapnya. Dalam nasihatnya, pemikiran dan sosok Williem Iskandar kerap disebut Darmin.Tokoh pendidikan dari Tapanuli Selatan itu memang menjadi idola Darmin dan pemikirannya selalu diterapkannya dalam meniti hidup. Herman bercerita, pada 1950- 1960 suasana kampung mereka jauh dari sentuhan perkembangan zaman.
Selain letaknya jauh, sehingga sulit dijangkau, bus yang menjadi sarana transportasi satu-satu pun jarang-jarang melintas. Terlebih lagi listrik belum ada pada zaman itu. Di rumah berukuran 6 meter x 8 meter,pasangan Judin dan Asma beserta kesepuluh anak mereka tidur berdesak-desakan. Bagi anak laki-laki,tidur di ruang tamu dengan beralaskan tikar. Untuk makan pun mereka selalu melahap lauk seadanya.“Kalau mau makan kami pernah bertengkar gara berebut ikan asin. Ya bertengkar anak-anaklah,”ujarnya sambil tersenyum mengingat masa kecilnya. Di mata teman masa kecilnya, Darmin dikenal sosok yang ramah. Hampir seluruh teman bermainnya menyukai dia.
Seorang teman dekat Darmin semasa kecil, Syamsuddin Lubis bercerita, teman sebangkunya saat sekolah ini sangat setia dan tidak pernah berbohong. Menurut pria yang akrab disapa Jaroda ini,Darmin seorang siswa yang menyukai pelajaran berhitung dan ilmu hayat. Berbeda dengan dirinya yang lebih menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Namun, mereka memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menyukai pelajaran kesenian. “Kami sering bernyanyi bersama,” ujarnya. Ke sekolah pun mereka tidak pernah naik kendaraan. Meski hanya berjalan kaki,mereka tidak pernah terlambat. Selama sekolah, mereka berdua selalu dipuji guru karena selalu menjadi juara kelas. Saat upacara, Jaroga menjadi pimpinan upacara, sedangkan Darmin wakilnya.
“Sebenarnya, tulisan sama, tapi suratan (nasib) yang berbeda,”ujarnya. Diakui pria yang kesehariannya menekuni pekerjaan sebagai tukang reparasi sepatu ini, setiap kali Darmin pulang kampung, mereka selalu bertemu dan bernostalgia. “Saya selalu dijemputnya, kalau dia pulang,”ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar